Jumat, 19 Maret 2021

Cerpen. (Bukan) malam pertama

 (Bukan) Malam pertama

Tidak ini bukan malam pertama, hanya kebetulan. 

Dimulai dari kegiatan tahunan sekolahku yakni berkemah. Aku senang sekali dan mempersiapkan dengan baik semua itu. 

"Sampai jumpa pa, ma, aku akan merindukan kalian"

"Hati2 maya...Tetap pastikan perlengkapan dan sarapanmu tak boleh telat"

Ibu selalu seperti itu, aku ini sudah besar. Aku berangkat diiringi tatapan khawatir ibuku. Ayolah aku sudah kelas XII tak ada yang perlu dikhawatirkan. 

***

Sampai di sana kami langsung dikumpulkan dan dibriefing untuk segala macam peraturan dan teknisnya langsung oleh P.Ghofur, Itu guru Seni Budaya sebenarnya tapi Beliau bertanggung jawab atas kegiatan ini. 

Mendadak aku rasanya dapat panggilan dari toilet. Aduh mana baru datang lagi. Aku menoleh kanan kiri mencari tempat untuk pipis tapi nihil. Aku tak mengenal tempat ini.

"Ran, ikut aku nyari sungai atau apa gitu dah nyampe ujung nih... "

"Tapi may. Ini masih briefing ntar kita ketinggalan informasi"

"Alah,  itu gampang tanya ke teman seregu nanti, Kita satu regu kan?"

Tanpa banyak bicara lagi aku dan Rani menyusup keluar mencari sungai dan tas aku titipkan ke Sinta. Di tengah pencarian aku malah bertemu dengan seorang yang tak asing. Dia teman sekelasku. 

"Hey Nuba, ngapain kamu di sini?  Kabur ya hayo...?  "

"Ah sama aja, Kamu sendiri? ” 

Masa bodoh. Aku mengusap wajah.  Lagi pula buat apa aku bertanya. Anak laki-laki itu selalu begitu. Menyebalkan. 

"Emm ayo Ran,  kita pergi dari tempat ini. Sebelum matahari makin tenggelam"

Aku meninggalkan Nuba sendiri di sana. Entah apa yang dia lakukan (kelihatan nganggur di pinggir sungai). 

Kami memang berangkat siang dan sampai di sana sudah hampir sore. Sepulang dari sungai tadi aku bingung menatap tenda. 

"Aku nyari Sinta dulu ya, mau nanya yang mana tenda kita"

Aku mengangguk mengiyakan, menunggu di sana sendirian sambil menoleh ke segala arah. 

"Hoammbb, Rani kemana dia. Lama sekali" gerutuku sebal.

Makin lama aku makin mengantuk duduk disini. Aku jengkel dan lama kelamaan berinisiatif untuk mencari sendiri tenda kami. Sebenarnya aku takut salah karena semua tenda dalam keadaan gelap.  Aku menggerutu dalam hati merasa heran kenapa semua tenda ini kosong. Tapi mengingat mataku sudah tak kuat untuk berjaga lebih lama lagi aku memutuskan untuk mengambil selimut siapapun yang aku lihat dan menutupi tubuhku dengannya. Berpikir sejenak kalaupun aku salah pasti mereka maklum karena ini masih hari pertama. 

Malam itu aku tak sempat berpikir apapun sebab kosongnya tenda, terlalu capek akibat mencari sungai siangnya. Tengah malam, Setengah sadar aku ingat tentang pemilik selimut yang aku pakai, mungkin dia kasihan dan membiarkanku memakainya. Masih hari pertama juga mereka pasti maklum. 

Sementara masih dalam keadaan gelap ketika aku terbangun sudah ada kaki di perutku. Aku menyingkirkannya dengan wajah jengkel. Berusaha melihat tapi tidak bisa. Semua gelap. Aku teruskan tidur dan memutuskan untuk menyelesaikan perkara ini besok.

Satu jam setelah menyingkirkan kaki. Tangan orang di sebelahku melingkar di perutku. 

"Ihhh. Tangan siapa sih ini" Sekali lagi aku membuangnya dengan perasaan sebal. 

Baru kali ini aku bermalam di alam bebas seperti ini. Menyesali keputusan menitipkan barang tadi. Malam juga semakin dingin, semakin enggan aku membuka selimut.

Tak lama setelah itu orang di sebelahku mengulanginya lagi dan berkali-kali seperti itu tangannnya melingkar di perutku. Mungkin dia menganggapku guling di kamarnya.  Aku lelah kali ini bukan hanya tangan namun kakinya juga memelukku. Aku buang,  dia ulangi lagi.  Terus seperti itu. Tidurku terganggu orang ini benar-benar menyebalkan.  Akhirnya aku diam dan tak perduli lagi.  Apapun yang dia lakukan. Besok saja aku urus. 

***

"Teng teng teng". Suara kentongan pak guru membangunkan kami untuk sholat subuh. 

Aku mulai terjaga. Keadaan sudah terang seperti ada obor di luar. Sepertinya memang waktunya bangun, tapi mataku masih sulit terbuka.  Apalagi saat jadi guling teman di sebelahku ini.  Rasanya tidak dingin lagi semalam. Namun aku terkejut saat membuka mata dan melihat sekeliling ku dan... 

"Aaaaaaaaaaaaaaaa! "

Refleks aku menjerit dengan apa yang aku lihat barusan dan aku menampar wajahnya dengan keras. 

"Plakkkk!!! Nuba!  Apa yang kau lakukan semalam?". 

Yang ditanya wajahnya masih  kusut dan setengah sadar. Sontak semua mata tertuju padaku. Aku baru sadar kalo memasuki tenda siswa putra. Cepat sekali suaraku mengundang perhatian penghuni tenda yang lain. 

Dengan cepat aku berdiri dan keluar dari tenda itu dengan perasaan malu tingkat dewa. Sambil mengumpat diri sendiri dan segera menyesali segala keputusan bodoh kemarin. Sehingga tak tahu letak tenda.

"Huuu Maya ngapain kamu semalam sama Nuba...?! " kata siswa yang tendanya aku masuki Semalam. 

"Diam!! Atau aku..." bahkan kepalan tanganku tak akan merubah apapun.

Subuh itu semua siswa tak kuasa menahan tawa dan aku sendiri sedang mencari Rani dengan perasaan jengkel setengah mati. Dan akhirnya ketemu juga. Dia buru-buru mendatangiku. 

"May..  Maaf tadi malam itu langsung ikut kegiatan di lapangan. Aku tidak sempat menyusulmu.  Lalu setelah itu aku lupa dan langsung tidur karena capek., please maafin aku... "

Melihat raut wajahku yang kesal dia akhirnya bertanya kembali. 

"Jadi tidur dimana Semalam? "

Aku menceritakan apa yang terjadi semalam tanpa terkecuali. 

"Hah!  Jadi....? "

"Jangan berpikir yang tidak-tidak lagi pula aku tidak sengaja. Aku juga sudah menamparnya gara-gara itu"

"May,  kasihan dia. Kan kamu yang salah"

"Yah kok jadi belain Nuba sih. Temen kamu yang mana sih aku atau Nuba"

Aku marah karena Rani terus menggodaku. Menganggap ini lelucon sementara aku sibuk memikirkan agar semua orang lupa tentang hari ini.

***

"Sayang sudah siap sarapannya, ayo turun dulu. "

"Siap, ma." dia turun dan memulai percakapan sebelum sarapan.

"Ma... kata papa kenangan berkesan sama mama di tenda kemah ya? Gimana tuh ceritanya Aldo penasaran nih"

Seketika pipiku merah, anak ini mewarisi kejahilan papanya. Aku hanya tersenyum pahit menanggapinya. Sambil menduga kalo ini pasti ulah papanya. Awas saja. Yang ditunggu turun juga. Gatal sekali tanganku ingin segera menjewer si papa.

"Ehh papa salah apa pagi-pagi main jewer aja.. ada apa mamah sayang..?"

"Hmm .. papa cerita apa sama aldo? Mamah kan malu" yang ditanya baru ingat.

"Eh itu (tersenyum tak berdosa malah bangga) iya gapapa biar anak kita tahu cerita unik papahnya. Ga papalah ma..lagian dia udah dewasa ini... barangkali terinspirasi "

Aku masuk ke kamar membanting pintu. Ngambek, malu dll.

Bertahun-tahun berlalu rasanya aku masih saja mengingatnya dengan baik. Ternyata malam pertama itu membuatku berteman dengan Nuba  seumur hidupku. Takdir menyatukanku dengannya di rumah ini dan bersama selamanya. 

Bagaimana aku bisa lupa. 



*cerpen yang dibuat dari tantangan yang gagal.  Tak apalah. Yang pasti cerpen ini akan tetap aku simpan. 

Kamis, 18 Februari 2021

Sajak. Bulan Oktober

 Oktober

Tentu saja masih sama

Tanggal yang sama hari dan bulan yang sama.

Kecuali tahun.

Entah tahun ke berapa aku masih saja punya oktober yang istimewa.

Seistimewa pertama jumpa
Seistimewa mengenal dunia untuk kali pertama

Seistimewa cerita.
Bersama dia.

Ya
Dia mungkin pergi membawa semuanya. Habis tak bersisa

Kecuali rasa

Tetap saja sama tanpanya.

Soal rasa.
Mengingatnya masih dengan rupa. Seperti nyata.

Tahukah kau rasanya? Tidak aku tidak akan mengemis sebuah rasa.

Hanya saja mengingatnya masih saja dengan hati yang suka cita.

Fine. Oke biarlah.

Kau pasti sudah bahagia dengannya.
Kau harus bahagia.
Karena aku juga akan bahagia kelak pada masanya.


Semoga bahagia
Kau dengan dia
Dan aku sendiri kelak juga dengan dia.
😌

Rabu, 17 Februari 2021

Cerpen. Ibu tidak butuh kado


Mendung, aku duduk di depan kamar. Menghitung mundur pulangan dua minggu ke depan. Tidak sabar bertemu keluarga dan sanak saudara. Namun Sebentar saja lamunan itu buyar oleh beberapa santri baru yang lewat sambil membawa plastik belanjaan, dari kantin rupanya. Terdengar sekilas mereka membicarakan kado untuk ibu. Kalo perlu hadiahnya harus mahal dan bermerek.

@@@

Momen hari ibu, tentu saja banyak santri sibuk memikirkan memilih kado terbaik untuk sang malaikat tak bersayap. Ah, benar. Sebutan itu memang cocok sekali untuk ibu. 

Aku menatap antusiasme mereka dari jendela kamarku. Ada yang pake kardus indomie, ada yang sederhana saja bikin bungkusan sendiri dan dibentuk seperti permen. Eh apa lebih mirip pocong? Entahlah. Lucu sekali mereka di usia SMP melihat teman sekamarnya rusuh memilih kado maka satu-dua yang tadinya tidak tertarik jadi ikutan semangat menyisihkan uang saku dan memilih kado terbaik versi mereka.

Bahagia terpancar di sudut kamar mana pun, di dalam dan juga di luar kamar. Kebetulan ini asrama khusus SMP. Semua sibuk. Kecuali Nora. Gadis kecil itu seminggu terakhir dia begitu terpukul. Tepat dua minggu sudah dia menjadi seorang piatu. Euforia hari ibu ini justru begitu menyakitkan untuknya. Berbanding terbalik dengan anak-anak tadi.

Kebetulan kamarnya berada tepat di depan kamarku. kelihatannya sejak tadi pagi dia hanya tidur. Dia adalah gadis paling sedih hari ini. Mana sempat teman-temannya yang masih SMP itu berempati. Sedih. Ini bukan soal kado itu. Tapi ini soal penyesalan.

Dia seringkali berbohong pada ibunya, meminta uang yang lebih dari kebutuhan yang dia daftar. Sampai suatu saat ibunya jatuh sakit. Ya, ibunya selalu bersikeras untuk memenuhi permintaan Nora. Namun dia baru tahu kenyataan itu dari paman, 3 hari sepeninggal ibunya. Karena memang selama ini ibunya selalu nampak bahagia saja dan tidak pernah mengeluh.

Nora masih kelas II SMP, yang dia tahu hanya uang saku harus tepat waktu. Dia pikir itu impas. Sebanding dengan permintaan ibunya untuk masuk pesantren tanpa berpikir seberapa keras ibunya berjuang untuk itu.

@@@

Siang hari. Dia bangun dan tiba-tiba berlari sambil menangis. Memutuskan bersembunyi di bawah jemuran. Menumpahkan seluruh tangis.

“Maafkan aku ibu, sungguh aku mencintaimu …” Nora sesenggukan mengatakannya, air matanya juga mengalir deras. Menyesal. Seharusnya hari ini dia ikut bersuka cita dan bertukar ide menarik soal kejutan apa akan mereka berikan. Tapi hari ini, dia justru tidak akan pernah mendapatkan kesempatan itu. Lama sekali dia menangis sampai jatuh pingsan.

Teman-teman kamarnya baru saja menyadari bahwa Nora menghilang ketika jadwal mengaji sore tiba.

“Eh, ke mana ya Nora?” 

Rinda yang pertama menyadari hal itu, disusul yang lain saling bertanya. Mereka tidak punya ide Nora bersembunyi di mana. Mereka bertanya ke kamar lain dan mencarinya ke mana-mana. Pesantren mereka luas sekali. Sampai seseorang dengan membawa tumpukan baju berteriak.

“Mbak, ada yang tidur di jemuran. Kayaknya Si Nora.”

Mendengar itu mereka langsung menuju ke sana dan menemukan Nora tengah pingsan. Badannya panas. Kesedihan masih jelas membuat keadaannya memburuk. 

“langsung bawa dia ke ruang kesehatan!” kataku, aku ikut khawatir dengan keadaannya.

@@@

Nora baru sadar satu jam kemudian. Bingung menatap sekeliling ruangan penuh dengan teman-teman kamarnya. Terakhir dia hanya ingat menangis di tempat yang sepi kenapa sekarang sudah ada di sana saja.

“Alhamdulillah, kamu sudah siuman. kami semua khawatir padamu Nora.” Rinda mengatakan itu sambil berkaca-kaca. Dia menyuruh Nora mengatakan apa alasannya sampai bersedih.

“Aku, aku hanya ...” 

Dia bercerita tentang yang dia rasakan hari ini. Tentang penyesalannya. Tentang hari ibu. Yang jelas, tentang dirinya yang hanya bisa menatap semuanya dengan penyesalan. Dia takkan pernah bisa membungkus kado apapun untuk ibu. Selamanya.

Nora menceritakan semua itu dengan air mata yang bercucuran. Selama ini dia hanya menganggap mondok sebagai imbalan agar semua permintaannya dituruti. Tidak perduli bagaimana perilakunya setiap hari di sana. Dia belum paham seberapa penting itu untuk masa depannya. Seisi ruangan tiba-tiba ikut sedih mendengar cerita Nora. Mereka sedari pagi tidak memperhatikan sama sekali kesedihan yang dirasakannya. Begitu juga denganku.

Aku mendekatinya, “Nora, Mungkin kamu memang tidak bisa membungkus kado apapun untuk ibumu saat ini. Tapi ketahuilah satu hal, kamu masih selalu bisa memberikan kado untuknya”. Sambil mengusap air matanya.

“oh ya kak, bagaimana caranya?”

“Kamu harus menjadi lebih baik, belajar yang rajin. Buat ibumu bangga di sana. Tunjukkan bahwa kerja kerasnya selama ini tidaklah sia-sia dan jangan lupa berdoa untuknya.” Aku menggenggam tangannya untuk meyakinkan.

“iya kak, aku janji ...!” 

Kali ini tangis haru pecah memenuhi ruangan kesehatan itu. Mereka semua memeluk Nora bersamaan. Sempat menghibur bilang Nora jelek kalau menangis dan tentu saja mereka semua saling menyayangi. Seperti keluarga. Aku ikut bahagia menyaksikan ini. Sungguh pesantren memang bisa membuat orang lain sedekat saudara.

“Jangan sedih, Nora. Besok ikut aku ya jadwal kunjungan. Ibuku kesini. Anggap saja ibuku itu juga ibumu.”

Dengan mata yang masih berkaca-kaca, “benarkah Rinda?, aku boleh ikut...”

“Tentu saja. Ibuku pasti senang bertemu denganmu”

Suasana haru menutup cerita sore itu. 

@@@

Malam menjelang. Cerita tadi sore membuatku belajar bahwa kado terindah untuk seorang ibu bukanlah tas mahal, baju bermerek atau apapun yang bisa menghabiskan uang. Tapi lebih dari itu kado terindah untuk ibu adalah seberapa besar kasih sayangmu padanya, seberapa besar kau berusaha membuatnya bahagia, dan seberapa banyak doa yang kau panjatkan untuknya. Bukan malah sebaliknya. Maka, saat semua itu sudah kau lakukan. Kado yang paling mahal pun bisa mengalahkannya. Apa artinya kado mahal (apalagi uang yang dipakai masih meminta orang tua) kalo hadiah itu hanya sebatas ikut-ikutan teman saja.

@@@

Di sisi lain. 

Suasana pesantren yang sepi. Jam dua belas malam. Semua sudah terlelap. Terlihat seorang wanita paruh baya mendatangi Nora. Melihatnya tengah tertidur pulas sambil tersenyum. Nora sedang bermimpi. Mimpi bertemu dengan ibunya.

Wanita itu duduk di samping Nora, sambil mengusap kepalanya dengan lembut.

“Ibu tidak butuh kado, ibu hanya ingin Nora jadi anak yang membanggakan, santri yang taat pengasuh dan santri yang punya ilmu manfaat. Kelak itulah yang akan ibu pertanggung jawabkan sebagai orang tua di hadapan Allah.”

Dalam mimpinya dia senang sekali bertemu ibu, dia mengangguk. Mengiyakan pesan ibunya. Berjanji dalam hati untuk melakukannya. 

Malam itu, Sungguh ibunya memang datang. Memberi pesan terakhir pada Nora sebelum pergi jauh dan tak pernah kembali.

TAMAT

Minggu, 01 November 2015

 Mau bepergian bingung? pilih saja bros-bros ini.. biar makin unyu berangkat kemana-mana.. ^_^

kunci anda sering hilang ?? atau tas anda kurang unyu.. plih dan lihat gantungan di sini..

gantungan hape juga ada loh.. ^_^

terimakasih atas perhatiannya.

anda berminat ?? silahkan komen di bawah ..